Menarik membaca berita tentang pembangkangan pedagang ikan di Keude Geudong Kabupaten Aceh Utara terhadap upaya pemerintah setempat memindahkan lokasi pasar ikan ke tempat baru. Berita pada Harian Serambi Indonesia pada tanggal 31 Maret 2013 menyebutkan bahwa pedagang ikan membongkar segel larangan berjualan yang dipasang oleh Satpol-PP dan petugas polisi pada tempat berdagang yang selama ini mereka gunakan, serta menolak untuk pindah ke lokasi baru yang disediakan pemerintah daerah dengan alasan fasilitas yang disediakan tidak memadai. Bahkan fasilitas MCK yang sangat vital ternyata juga belum tersedia. Disamping itu, pedagang juga beralasan bahwa lokasi pasar ikan baru jauh dari keramaian. Sementara Dinas Pasar, Kebersihan, dan Pertamanan Kabupaten Aceh Utara beralasan bahwa pemindahan dilakukan karena aktivitas perdagangan pada kondisi eksisting menyebabkan kemacetan dan kesemrawutan di Keude Geudong.
Banyak isu yang mungkin dibahas dari kejadian tersebut. Namun, tulisan ringkas ini akan berusaha fokus membahas isu sensitivitas pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat (dalam hal ini pedagang ikan selaku pengguna fasilitas yang dibangun oleh pemerintah).
Dalam proses pembangunan, aktor yang terkait idealnya dilibatkan mulai dari proses perencanaan, pengawasan konstruksi, hingga operasionalisasi. Hal ini dibutuhkan agar hasil kegiatan pembangunan dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai peruntukannya, serta sesuai dengan kebutuhan pengguna. Meskipun hal demikian dalam praktiknya masih relatif sulit untuk dilaksanakan. Namun, secara minimal, kebutuhan/aspirasi masyarakat sebagai pihak pengguna harus dipertimbangkan dengan cara melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses perencanaan. Pada kasus pasar ikan Keude Geudong, dalam proses perencanaan, pemerintah harus mampu mengidentifikasi fasilitas apa saja saja yang dibutuhkan pedagang ikan, fasilitas minimal apa saja yang harus disediakan, bagaimana pola sirkulasi di dalam pasar ikan, dimensi masing-masing fasilitas pendukung seperti ukuran lapak jualan misalnya. Disamping itu, pemerintah juga harus mempertimbangkan interaksi antara lokasi pasar ikan dengan blok perdagangan lainnya agar tidak terjadi konflik antar pedagang (sebagai contoh, bau yang dihasilkan oleh pasar ikan dapat mengganggu pelanggan pedagang makanan) serta untuk menjaga agar pembeli dapat mengakses lokasi pasar ikan.
Pemerintah selaku pihak penyelenggara pembangunan seharusnya berhenti bersikap sebagai pihak yang paling tahu dan paling mengerti tentang hal yang dibutuhkan masyarakat. Pada kasus pemindahan pedagang ikan di keude Geudong, pemerintah memaksa pedagang untuk pindah tanpa terlebih dahulu menyediakan fasilitas minimal yang dibutuhkan untuk menunjang aktivitas perdagangan di lokasi baru. Pemerintah memaksa pedagang untuk pindah, sementara bahkan MCK belum disediakan di lokasi baru. Akibat kondisi demikian, wajar saja bila pedagang dengan tegas menolak untuk menempati lokasi baru karena mereka akan menemui kesulitan-kesulitan ketika melaksanakan kegiatan berjualan. Lagipula, kesemrawutan dan kemacetan di keude Geudong tidak semata-mata disebabkan oleh aktivitas para pedagang ikan, tapi juga dipengaruhi oleh beragam variabel lain. Sebagai contoh, angkutan umum yang ngetem sembarangan sehingga menjadi penghambat pergerakan lalu lintas, relatif rendahnya kedisiplinan pengguna jalan, kapasitas jalan yang relatif terbatas dibandingkan dengan intensitas lalu lintas, serta posisi keude Geudong itu sendiri yang berada pada titik persimpangan.
Kembali ke kasus pasar ikan Keude Geudong, Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara selaku pihak penentu kebijakan semestinya terlebih dahulu melengkapi fasilitas pasar ikan sesuai dengan kebutuhan pedagang sebelum melakukan sosialisasi dan meminta pedagang untuk menempati lokasi yang telah disediakan. Diperlukan interaksi yang intens antara dinas teknis dan pedagang ikan untuk menjembatani keinginan masing-masing pihak, serta untuk menumbuhkan rasa saling percaya sebelum proses pemindahan dilakukan. Pedagang harus dapat diyakinkan tentang manfaat dan dukungan yang mereka peroleh apabila telah menempati lokasi berjualan yang baru. Hal ini tentu saja butuh waktu dan tidak mungkin bisa dicapai hanya dengan mengirimkan surat perintah kepada pedagang untuk pindah, dan memerintahkan aparat satpol PP memasang segel tanda larangan berjualan. Proses ini mungkin akan membutuhkan lebih banyak waktu dan tenaga, namun kemungkinan mengoptimalkan manfaat kegiatan pembangunan bagi masyarakat tentu akan bisa lebih dioptimalkan.
No comments:
Post a Comment